Ayam buras atau ayam kampung di Bali bernilai ekonomi tinggi. Selain sebagai ternak potong dan penghasil telur, permintaan ayam hidup untuk keperluan sesaji (upakara) cukup banyak, terlebih ayam yang memiliki bulu dengan paduan warna hitam, putih, merah, dan oleh warga Bali disebut ayam berumbun.
Ayam yang dipilih untuk upakara relatif masih kecil, usia sekitar tiga bulan. Namun harganya cukup mahal, terlebih ketika sedang musim upacara adat seperti mecaruan. Ayam ‘kecil’ atau ukuran setengah burung dara, dengan berwarna tunggal - putih, merah, atau hitam saja – oleh peternak dijual Rp 15.000 – Rp 20.000 perekor. Sementara ayam berumbun harganya lebih tinggi, bisa sampai Rp 25.000 satu ekor. Lain lagi bila membelinya di pasar, harganya bisa berlipat atau setidaknya Rp 5.000 lebih mahal.
Selain untuk memenuhi keperluan upakara keluarganya, kata Kepala Kantor Peternakan Denpasar Dewa Ngurah, ada kecenderungan warga memelihara ayam buras untuk dijual. “Dan hasilnya lumayan, bisa untuk membantu perekonomian keluarga,” kata Ngurah yang ditemui di kantornya, Jumat kemarin. Karena itu, pihaknya giat mendorong warga utamanya di kawasan pedesaan untuk tetap mempertahankan usaha peternakannya. Salah satunya adalah Banjar Cengkilung, Peguyangan Kangin, Denpasar.
Seorang warganya, Made Kanik, 45, awalnya beternak ayam buras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kadang piaraannya itu diambil telurnya atau dipotong untuk dikonsumsi, khususnya betina yang sudah tidak produktif bertelur. Tapi tujuan paling utama adalah untuk upakara.
“Kalau orang Bali, hampir setiap upacara agama perlu sesaji atau banten (upakara), termasuk ayam, itik, bahkan sampai kepala kerbau dan sebagainya. Tergantung jenis upacaranya. Yang paling sering diperlukan adalah ayam. Apalagi kalau upacara besar seperti mecaru, ini perlu ayam komplit, putih, hitam, merah dan berumbun. Jumlahnya tergantung kebutuhan. Kalau upacara-upacara biasa, seperti Tumpek Landep begini (akhir pekan kemarin warga Bali sedang melaksanakan Upacara Tumpek Landep yaitu mengupacarai segala barang atau peralatan yang terbuat dari besi, red),– ada yang memakai ayam dan ada yang tidak. Kalau kami, biasanya perlu satu ekor,” kata Kanik.
Ia menambahkan, di kampungnya terbiasa saling memberi ayam antar tetangga, sesuai kebutuhan. “Kalau keluarga saya perlu merah, ya dikasih merah. Gentian, kalau tetangga butuh ayam seperti kepunyaan saya sebagai upakara, akan kami kasih cuma-cuma. Tapi kan meminta terus-terusan sungkan. Minimal kami juga harus usaha memelihara sendiri,” lanjut Kanik, yang sejak 2001 lalu lebih serius beternak ayam buras. Warga di Banjar Cengkilung, menurutnya sudah lama menjadi peternak ayam buras dan tergabung dalam Kelompok Ternak Ayam Buras Sumber Rejeki.
Kanik yang juga seorang inseminator (tukang suntik hewan), saat sekarang dipercaya menjadi ketua kelompok tersebut. Anggotanya sudah 30 orang dengan kepemilikan ayam induk rata-rata 25 ekor.
Ayam induk akan bertelur setelah usia 6 – 8 bulan. Satu induk akan menghasilkan sampai 12 butir untuk satu kali masa bertelur. Bila vaksin rutin diberikan (tiga bulan sekali) dan makanannya mencukupi, induk tersebut bisa berproduksi telur sampai lima tahunan. Dalam setahun setidaknya 2 kali masa bertelur. Pakan ayam buras itu bisa berupa jagung, sisa nasi atau masakan lain, dedak (ampas padi) atau pelet yang mudah dan relatif murah memperolehnya. Bila induk sudah tidak produktif, selain jarang bertelur juga menunjukkan tanda-tanda fisik seperti jengger yang membesar.
Untuk ayam induk dan pejantannya dipilih dari anak ayam yang berwarna tunggal, merah saja, atau putih maupun hitam. Biasanya, peternak mengawinkan induk dan pejantan dari warna berbeda sehingga kemungkinan beranak berumbun lebih besar. ”Kalau induknya putih, pejantannya dipilih yang warna merah atau hitam, dan sebaliknya,” kata Kanik.
Masa penetasan memerlukan waktu sekitar 21 hari baik melalui pengeraman alami oleh induk maupun mempergunakan mesin penetas. Hanya perlu tempat atau sarang yang kering untuk menetaskan telur secara alami (dieram oleh induknya). Pada awal 2007, kelompok ternak tersebut membeli satu mesin penetas. Namun diakui Kanik, keberhasilannya baru 60 persen.
Tiga bulan sejak menetas, anak ayam sudah siap dipasarkan. Pada usia tersebut, warna bulu-bulunya mulai kuat. Namun seiring perkembangan usia selepas tiga bulan, warna bulunya bisa memudar.
Sejumlah warga dari seputaran Denpasar, menurut Kanik sudah terbiasa membeli langsung ke kelompoknya. Bila anak-anak ayam belum semuanya terjual, salah seorang pedagang pengepul akan memborongnya. ”Jadi selama ini selalu saja laris, dan kadang kami tidak bisa memenuhi jumlah permintaan. Terlebih ya kalau lagi musim upacara besar, sampai kami meminta pasokan anak ayam dari kelompok ternak lain,” imbuh Kanik sambil memperlihatkan ayam-ayamnya yang sengaja tidak dikandangkan.
Kanik mengaku sangat mudah dan menguntungkan beternak ayam buras, ”Selain bisa makan dagingnya, anaknya cukup laku di pasaran. Pangannya pun gampang dicari.” Idealnya, lanjut Kanik, ayam-ayam tersebut dikandangkan sehingga lebih mudah pengawasannya terlebih bila ada penyakit menyerang. Selama ini, satu-satunya penyakit yang pernah ada adalah tetelo (ND) yang tahun lalu menyebabkan total populasi menurun dari lebih 3000 ekor menjadi 1.000 ekor saja.
Merebaknya kasus flu burung diakui sempat mengkhawatirkan. Hanya, tegas Kanik, kelompoknya langsung melakukan penyemprotan dan vaksin. Dengan koordinasi kelompok ternak, sambungnya, antar anggota bisa saling membantu baik dalam penjualan maupun proses vaksinasi. Menurut dia, Pemkot Denpasar memberikan bantuan vaksin gratis kepada kelompoknya dengan jumlah sesuai kebutuhan. Termasuk memberi 100 induk ayam buras untuk mendorong peningkatan populasi hasil ayam berumbun.
Ayam yang dipilih untuk upakara relatif masih kecil, usia sekitar tiga bulan. Namun harganya cukup mahal, terlebih ketika sedang musim upacara adat seperti mecaruan. Ayam ‘kecil’ atau ukuran setengah burung dara, dengan berwarna tunggal - putih, merah, atau hitam saja – oleh peternak dijual Rp 15.000 – Rp 20.000 perekor. Sementara ayam berumbun harganya lebih tinggi, bisa sampai Rp 25.000 satu ekor. Lain lagi bila membelinya di pasar, harganya bisa berlipat atau setidaknya Rp 5.000 lebih mahal.
Selain untuk memenuhi keperluan upakara keluarganya, kata Kepala Kantor Peternakan Denpasar Dewa Ngurah, ada kecenderungan warga memelihara ayam buras untuk dijual. “Dan hasilnya lumayan, bisa untuk membantu perekonomian keluarga,” kata Ngurah yang ditemui di kantornya, Jumat kemarin. Karena itu, pihaknya giat mendorong warga utamanya di kawasan pedesaan untuk tetap mempertahankan usaha peternakannya. Salah satunya adalah Banjar Cengkilung, Peguyangan Kangin, Denpasar.
Seorang warganya, Made Kanik, 45, awalnya beternak ayam buras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kadang piaraannya itu diambil telurnya atau dipotong untuk dikonsumsi, khususnya betina yang sudah tidak produktif bertelur. Tapi tujuan paling utama adalah untuk upakara.
“Kalau orang Bali, hampir setiap upacara agama perlu sesaji atau banten (upakara), termasuk ayam, itik, bahkan sampai kepala kerbau dan sebagainya. Tergantung jenis upacaranya. Yang paling sering diperlukan adalah ayam. Apalagi kalau upacara besar seperti mecaru, ini perlu ayam komplit, putih, hitam, merah dan berumbun. Jumlahnya tergantung kebutuhan. Kalau upacara-upacara biasa, seperti Tumpek Landep begini (akhir pekan kemarin warga Bali sedang melaksanakan Upacara Tumpek Landep yaitu mengupacarai segala barang atau peralatan yang terbuat dari besi, red),– ada yang memakai ayam dan ada yang tidak. Kalau kami, biasanya perlu satu ekor,” kata Kanik.
Ia menambahkan, di kampungnya terbiasa saling memberi ayam antar tetangga, sesuai kebutuhan. “Kalau keluarga saya perlu merah, ya dikasih merah. Gentian, kalau tetangga butuh ayam seperti kepunyaan saya sebagai upakara, akan kami kasih cuma-cuma. Tapi kan meminta terus-terusan sungkan. Minimal kami juga harus usaha memelihara sendiri,” lanjut Kanik, yang sejak 2001 lalu lebih serius beternak ayam buras. Warga di Banjar Cengkilung, menurutnya sudah lama menjadi peternak ayam buras dan tergabung dalam Kelompok Ternak Ayam Buras Sumber Rejeki.
Kanik yang juga seorang inseminator (tukang suntik hewan), saat sekarang dipercaya menjadi ketua kelompok tersebut. Anggotanya sudah 30 orang dengan kepemilikan ayam induk rata-rata 25 ekor.
Ayam induk akan bertelur setelah usia 6 – 8 bulan. Satu induk akan menghasilkan sampai 12 butir untuk satu kali masa bertelur. Bila vaksin rutin diberikan (tiga bulan sekali) dan makanannya mencukupi, induk tersebut bisa berproduksi telur sampai lima tahunan. Dalam setahun setidaknya 2 kali masa bertelur. Pakan ayam buras itu bisa berupa jagung, sisa nasi atau masakan lain, dedak (ampas padi) atau pelet yang mudah dan relatif murah memperolehnya. Bila induk sudah tidak produktif, selain jarang bertelur juga menunjukkan tanda-tanda fisik seperti jengger yang membesar.
Untuk ayam induk dan pejantannya dipilih dari anak ayam yang berwarna tunggal, merah saja, atau putih maupun hitam. Biasanya, peternak mengawinkan induk dan pejantan dari warna berbeda sehingga kemungkinan beranak berumbun lebih besar. ”Kalau induknya putih, pejantannya dipilih yang warna merah atau hitam, dan sebaliknya,” kata Kanik.
Masa penetasan memerlukan waktu sekitar 21 hari baik melalui pengeraman alami oleh induk maupun mempergunakan mesin penetas. Hanya perlu tempat atau sarang yang kering untuk menetaskan telur secara alami (dieram oleh induknya). Pada awal 2007, kelompok ternak tersebut membeli satu mesin penetas. Namun diakui Kanik, keberhasilannya baru 60 persen.
Tiga bulan sejak menetas, anak ayam sudah siap dipasarkan. Pada usia tersebut, warna bulu-bulunya mulai kuat. Namun seiring perkembangan usia selepas tiga bulan, warna bulunya bisa memudar.
Sejumlah warga dari seputaran Denpasar, menurut Kanik sudah terbiasa membeli langsung ke kelompoknya. Bila anak-anak ayam belum semuanya terjual, salah seorang pedagang pengepul akan memborongnya. ”Jadi selama ini selalu saja laris, dan kadang kami tidak bisa memenuhi jumlah permintaan. Terlebih ya kalau lagi musim upacara besar, sampai kami meminta pasokan anak ayam dari kelompok ternak lain,” imbuh Kanik sambil memperlihatkan ayam-ayamnya yang sengaja tidak dikandangkan.
Kanik mengaku sangat mudah dan menguntungkan beternak ayam buras, ”Selain bisa makan dagingnya, anaknya cukup laku di pasaran. Pangannya pun gampang dicari.” Idealnya, lanjut Kanik, ayam-ayam tersebut dikandangkan sehingga lebih mudah pengawasannya terlebih bila ada penyakit menyerang. Selama ini, satu-satunya penyakit yang pernah ada adalah tetelo (ND) yang tahun lalu menyebabkan total populasi menurun dari lebih 3000 ekor menjadi 1.000 ekor saja.
Merebaknya kasus flu burung diakui sempat mengkhawatirkan. Hanya, tegas Kanik, kelompoknya langsung melakukan penyemprotan dan vaksin. Dengan koordinasi kelompok ternak, sambungnya, antar anggota bisa saling membantu baik dalam penjualan maupun proses vaksinasi. Menurut dia, Pemkot Denpasar memberikan bantuan vaksin gratis kepada kelompoknya dengan jumlah sesuai kebutuhan. Termasuk memberi 100 induk ayam buras untuk mendorong peningkatan populasi hasil ayam berumbun.
0 komentar:
Posting Komentar